Peran Gaya Hidup, Media Sosial, dan Generasi Z di Balik Fenomena Pinjol

Peran Gaya Hidup, Media Sosial, dan Generasi Z di Balik Fenomena Pinjol

Update 14/11/25 · Read 5 minute

Di era digital, kemudahan akses keuangan menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, aplikasi pinjaman daring (pinjol) membuka peluang inklusi finansial bagi jutaan orang yang sebelumnya tidak terlayani bank.

Namun di sisi lain, pinjol juga menimbulkan gelombang utang konsumtif, terutama di kalangan muda.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada pertengahan 2025 mencatat, kelompok usia 19–30 tahun menyumbang lebih dari 60 % peminjam aktif pinjol. Banyak di antaranya berasal dari pekerja muda, mahasiswa, dan wirausaha pemula.

Apa yang mendorong mereka berutang? Jawabannya tidak selalu kebutuhan mendesak, melainkan gaya hidup digital dan tekanan sosial dari media sosial.


1. Generasi Z dan Budaya “Serba Instan”

Generasi Z (lahir 1997–2012) tumbuh dalam ekosistem serba cepat. Semua hal bisa didapat hanya dengan beberapa ketukan di ponsel: makanan, transportasi, hiburan, bahkan pinjaman uang.

Kebiasaan instan ini membentuk pola pikir “klik dan dapat” — termasuk dalam pengelolaan uang.
Jika dulu seseorang menabung untuk membeli barang impian, kini cukup dengan paylater atau pinjol, barang bisa dimiliki hari itu juga.
Masalahnya, kemudahan tanpa edukasi sering membuat mereka mengabaikan konsekuensi finansial.


2. Media Sosial dan Tekanan Gaya Hidup

Media sosial menciptakan standar gaya hidup baru. Setiap hari, pengguna disuguhi konten “pamer pencapaian”: liburan, gadget terbaru, outfit trendi, atau kafe kekinian.
Fenomena ini memicu FoMO (fear of missing out) — ketakutan tertinggal dari tren.

Agar “tidak kalah eksis”, sebagian orang rela berutang untuk membeli barang-barang yang sebenarnya di luar kemampuan finansial.
Contoh sederhana: membayar tiket konser, upgrade ponsel, atau belanja haul lewat pinjol karena ada promo cicilan nol persen.

READ :  Review Bintang 5 Palsu di Aplikasi Pinjaman Online: Realita!

Menurut riset Nusantara Global Journal (2025), 68 % pengguna pinjol berusia 20–30 tahun mengaku alasan utama berutang adalah gaya hidup dan konsumsi non-prioritas, bukan kebutuhan mendesak.


3. Ekonomi Kreatif dan Realitas Pendapatan Tidak Stabil

Banyak Generasi Z bekerja di sektor kreatif: freelancer, content creator, desainer, atau pekerja gig-economy. Pendapatan mereka cenderung fluktuatif — besar bulan ini, menurun bulan depan.

Ketika pemasukan tidak tetap, pinjol tampak seperti “penyelamat sementara”.
Sayangnya, bunga tinggi dan jatuh tempo pendek membuat pinjaman produktif mudah berubah menjadi beban.
Beberapa bahkan menggunakan pinjol untuk membiayai produksi konten, berharap hasil viral menutup utang — tetapi tidak semua berhasil.

Kondisi ini menunjukkan bahwa masalah pinjol di kalangan muda tidak hanya perilaku konsumtif, tapi juga ketidakstabilan ekonomi struktural. Mereka berpendapatan cukup untuk hidup digital, tapi tidak cukup untuk menanggung risiko finansial jangka panjang.


4. Normalisasi Utang dalam Budaya Digital

Platform e-commerce dan fintech membentuk budaya baru: utang adalah bagian normal dari transaksi digital.
Fitur paylater atau “bayar bulan depan” memudahkan pembelian impulsif tanpa rasa bersalah.

Secara psikologis, orang lebih berani mengeluarkan uang virtual dibanding uang tunai.
Transaksi terasa ringan karena “belum benar-benar bayar”, padahal tagihan menunggu di akhir bulan.
Normalisasi ini membuat utang tampak wajar, bahkan menjadi gaya hidup modern.


5. Literasi Keuangan Digital Masih Rendah

Meskipun melek teknologi, Generasi Z belum tentu melek finansial.
Survei OJK (2024) menunjukkan tingkat literasi keuangan digital di kalangan usia muda baru sekitar 45 %, jauh di bawah rata-rata nasional yang diharapkan mencapai 70 %.

Banyak yang tidak memahami:

  • Cara menghitung bunga efektif.

  • Risiko gagal bayar terhadap skor kredit.

  • Bahaya memberikan akses data pribadi ke aplikasi ilegal.

Akibatnya, mereka sering terjebak pinjol ilegal atau menganggap keterlambatan satu minggu tidak masalah, padahal bunga harian terus menumpuk.


6. Dampak Psikologis: Stres Finansial di Usia Muda

Gaya hidup yang tidak seimbang antara penghasilan dan konsumsi menciptakan stres finansial.
Banyak anak muda merasa cemas setiap kali notifikasi tagihan masuk.
Ada yang kehilangan fokus kerja, menghindari komunikasi, bahkan mengalami gangguan tidur.

READ :  Trik Pinjol “Pindar” Ilegal Mengelabui Calon Peminjam

Beberapa kasus ekstrem menunjukkan korban pinjol muda mengalami tekanan sosial karena ditagih secara agresif.
Fenomena ini mengungkap bahwa literasi keuangan tidak hanya soal angka, tetapi juga soal kesehatan mental.


7. Peran Edukasi, Komunitas, dan Influencer Positif

Media sosial yang selama ini menjadi sumber masalah juga bisa menjadi sumber solusi.
Influencer keuangan seperti financial planner, content creator edukatif, dan komunitas literasi finansial mulai bermunculan.
Mereka membantu anak muda memahami konsep sederhana:

  • Bedakan kebutuhan dan keinginan.

  • Gunakan pinjaman hanya untuk hal produktif.

  • Kelola penghasilan harian dan buat dana darurat.

Edukasi dari sesama generasi muda lebih mudah diterima karena bahasanya relevan dan tidak menggurui.


8. Jalan Keluar: Membangun Budaya Finansial Sehat

Untuk mengatasi ketergantungan pinjol di kalangan muda, dibutuhkan pendekatan kultural dan struktural:

  1. Pendidikan Keuangan di Sekolah dan Kampus
    Literasi finansial harus diajarkan sejak dini, bukan setelah terjerat utang.

  2. Transparansi Platform Fintech
    Aplikasi wajib menjelaskan bunga efektif dan risiko secara jelas, bukan hanya promo cicilan.

  3. Program Peningkatan Pendapatan Generasi Muda
    Akses modal usaha, pelatihan digital, dan peluang kerja fleksibel membantu mengurangi alasan berutang.

  4. Kampanye “Bangga Hidup Sesuai Kemampuan”
    Ubah narasi sukses di media sosial: bukan seberapa banyak barang dibeli, tetapi seberapa cerdas mengelola uang.


Kesimpulan

Fenomena pinjol di kalangan Generasi Z bukan sekadar soal utang, tetapi cerminan budaya hidup digital yang belum diimbangi dengan kemampuan finansial.
Media sosial menormalisasi konsumsi, sementara ketidakpastian pendapatan membuat pinjaman tampak sebagai solusi mudah.

Untuk keluar dari lingkaran ini, generasi muda perlu membangun kesadaran finansial baru:
bahwa kebebasan sejati bukan ketika bisa membeli apa saja, tetapi ketika tidak terikat utang.
Teknologi keuangan seharusnya menjadi alat untuk tumbuh — bukan jerat konsumsi yang menyamar sebagai kemajuan.


FAQs

1. Kenapa banyak anak muda tertarik pakai pinjol?
Karena prosesnya cepat, tidak perlu jaminan, dan sering digunakan untuk gaya hidup. Faktor lain adalah pendapatan belum stabil serta pengaruh media sosial.

2. Apakah menggunakan pinjol selalu salah?
Tidak selalu. Jika digunakan untuk tujuan produktif (modal usaha, pendidikan, alat kerja) dan disertai perencanaan bayar yang jelas, pinjol bisa membantu.

READ :  7 Cara Menaikkan Skor Kredit PINJOL Cepat Cair!

3. Bagaimana cara membedakan kebutuhan dan keinginan?
Kebutuhan adalah hal yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup (makan, tempat tinggal, transportasi kerja). Keinginan adalah hal yang bisa ditunda tanpa mengganggu fungsi dasar.

4. Apa dampaknya kalau sering menunda bayar pinjol?
Bunga harian dan denda menumpuk, skor kredit turun, serta kemungkinan ditolak lembaga keuangan di masa depan.

5. Bagaimana menghindari tekanan gaya hidup dari media sosial?
Kurangi konsumsi konten konsumtif, ikuti akun edukatif, dan tetapkan tujuan finansial pribadi agar tidak terpengaruh standar orang lain.

6. Apa langkah awal membangun keuangan sehat di usia muda?
Catat semua pemasukan dan pengeluaran, sisihkan dana darurat minimal 10 % penghasilan, hindari cicilan konsumtif, dan belajar investasi sederhana.