Mental Accounting: Mengelola Uang dengan “Akun Mental” yang Sering Menjebak

Published 15/08/25 · read 3 menit

Mental Accounting adalah konsep psikologi keuangan yang diperkenalkan oleh Richard Thaler, peraih Nobel Ekonomi 2017.
Intinya: manusia secara tidak sadar membagi uang ke dalam “akun mental” yang berbeda, meski nilai uang sebenarnya sama.

Contoh:

  • Bonus kerja dianggap “uang ekstra” dan dihabiskan lebih cepat

  • Tabungan untuk liburan tidak diganggu, meski ada kebutuhan mendesak

  • Uang dari hasil penjualan barang dipakai untuk belanja konsumtif

Padahal, Rp1 juta tetap Rp1 juta, tak peduli asalnya dari gaji, bonus, atau hadiah.


Bagaimana Mental Accounting Bekerja?

Otak kita cenderung:

  1. Mengelompokkan uang berdasarkan sumber
    Gaji bulanan, bonus, hasil jual barang, dan uang hadiah dipisah secara emosional.

  2. Mengalokasikan uang berdasarkan tujuan
    Tabungan rumah, dana liburan, dana darurat, dan “uang jajan” punya perlakuan berbeda.

  3. Memperlakukan uang secara tidak rasional
    Uang bonus dihabiskan tanpa rasa bersalah, padahal nilainya sama dengan uang gaji.


Contoh Nyata Mental Accounting

  • Bonus Akhir Tahun
    Alih-alih ditabung, banyak orang menghabiskannya untuk liburan atau barang mahal.

  • Uang Kembalian
    Recehan dari belanja sering diabaikan, padahal jika dikumpulkan nilainya signifikan.

  • Dana Liburan vs. Dana Darurat
    Meski ada kebutuhan mendesak, sebagian orang enggan menggunakan dana liburan karena “tujuannya beda”.

READ :  Anchoring Effect: Jebakan Psikologis yang Bisa Mengacaukan Keputusan Keuangan

Sisi Positif Mental Accounting

Meski sering membuat keputusan keuangan tidak rasional, mental accounting punya manfaat:

  • Membantu mengatur anggaran berdasarkan kategori

  • Memotivasi menabung untuk tujuan tertentu

  • Membuat pengeluaran terasa lebih terkontrol


Jebakan Mental Accounting

  1. Menghamburkan Uang “Tak Terduga”
    Bonus, uang hadiah, atau THR sering dihabiskan tanpa perencanaan.

  2. Mengabaikan Nilai Uang yang Sama
    Memperlakukan uang dari sumber tertentu seolah “tidak berharga” seperti recehan atau cashback.

  3. Mengorbankan Kebutuhan Mendesak
    Enggan memindahkan dana dari satu kategori meski ada keadaan darurat.


Sudut Pandang Baru: Mental Accounting di Era Digital

Dengan banyaknya dompet digital, e-wallet, dan saldo terpisah di berbagai aplikasi, fenomena mental accounting makin kuat.
Contoh:

  • Saldo ShopeePay dianggap “uang untuk belanja Shopee” meski sebenarnya bisa ditarik ke rekening.

  • Poin reward dianggap “gratis” sehingga mendorong belanja tambahan.

READ :  Loss Aversion: Mengapa Takut Rugi Bisa Menghambat Kesuksesan Finansial

Cara Mengelola Mental Accounting dengan Bijak

1. Gunakan “Akun Mental” untuk Menabung

Pisahkan tabungan berdasarkan tujuan (rumah, pendidikan, liburan) untuk memotivasi.


2. Perlakukan Semua Uang Sama

Ingat: Rp100 ribu dari cashback sama berharganya dengan Rp100 ribu dari gaji.


3. Prioritaskan Kebutuhan Mendesak

Jika ada keadaan darurat, jangan ragu memindahkan dana dari pos lain.


4. Rencanakan Uang Tak Terduga

Sebelum menerima bonus atau THR, buat rencana penggunaannya.


5. Gunakan Satu Aplikasi Keuangan

Gabungkan semua sumber uang (cash, e-wallet, rekening) ke dalam satu aplikasi pelacak agar tidak “lupa” saldo.


Pengalaman Pengguna: Ubah Bonus Jadi Tabungan Rp10 Juta

Alya, 29 tahun, dulu selalu menghabiskan bonus tahunan untuk liburan. Setelah memahami mental accounting, ia mengubah strategi:

  • 50% bonus langsung masuk tabungan rumah

  • 30% untuk investasi

  • 20% untuk hiburan

READ :  Sunk Cost Fallacy: Terjebak pada Biaya yang Sudah Keluar

Hasilnya, dalam 2 tahun ia berhasil mengumpulkan Rp10 juta tabungan tambahan.


FAQ: Mental Accounting

Q1: Apakah mental accounting selalu buruk?
Tidak. Jika digunakan untuk perencanaan, mental accounting bisa membantu mengatur keuangan.

Q2: Bagaimana cara menghindari jebakannya?
Dengan menyadari bahwa semua uang memiliki nilai yang sama, dan menyesuaikan penggunaan sesuai prioritas.

Q3: Apakah ini sama dengan budgeting?
Tidak. Budgeting adalah rencana sadar, mental accounting sering terjadi tanpa disadari.

Q4: Bisa dipakai untuk mengontrol pengeluaran?
Ya, dengan membuat “akun mental” untuk pos belanja tertentu dan membatasinya.


Kesimpulan

Mental accounting adalah cara otak mengelompokkan uang yang bisa membantu atau malah menjebak. Dengan kesadaran dan strategi yang tepat, kita bisa memanfaatkan sisi positifnya untuk menabung lebih banyak, mengatur pengeluaran, dan mencapai tujuan finansial.

Ingat, uang tidak peduli dari mana asalnya — nilainya tetap sama di tangan kita.