Stres, Depresi, hingga Konflik Rumah Tangga akibat Utang Pinjol

Published 14/08/25 · read 3 menit

Prosesnya singkat, tanpa jaminan, dan pencairannya instan. Namun, di balik kemudahan itu, banyak orang justru terjebak dalam masalah yang lebih besar: tekanan mental, konflik keluarga, bahkan kehilangan semangat hidup.

Kasus ini tidak hanya terjadi pada pinjol ilegal, tetapi juga pinjol legal yang memiliki bunga tinggi dan tenor pendek.


1. Stres Berkepanjangan: Hidup dalam Tekanan Harian

Begitu jatuh tempo, apalagi jika telat membayar, stres mulai menghantui. Telepon penagihan bisa masuk berkali-kali sehari, pesan WhatsApp penuh ancaman, dan notifikasi HP membuat jantung berdebar.

Faktor pemicu stres akibat pinjol:

  • Tenor terlalu singkat (7–30 hari) sehingga sulit mengumpulkan dana tepat waktu.

  • Bunga tinggi + denda harian yang membuat utang membengkak.

  • Penagihan yang agresif dan intimidatif.

Dampaknya: Sulit fokus bekerja, menurunnya produktivitas, bahkan kehilangan pekerjaan karena performa terganggu.

READ :  Pinjol vs P2P Lending: Apa Bedanya dan Mana Paling Untung?

2. Depresi: Ketika Tekanan Finansial Menghancurkan Mental

Banyak korban pinjol mengalami depresi karena merasa terjebak tanpa jalan keluar. Kombinasi rasa malu, takut, dan kelelahan mental membuat mereka kehilangan motivasi hidup.

Tanda-tanda depresi akibat utang pinjol:

  • Kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai.

  • Kesulitan tidur atau justru tidur berlebihan.

  • Merasa diri tidak berharga atau menjadi beban keluarga.

Kasus nyata:
Seorang korban di Jawa Barat mengaku sempat terpikir mengakhiri hidupnya karena dikejar 15 aplikasi pinjol sekaligus, total utang mencapai puluhan juta rupiah.


3. Konflik Rumah Tangga: Utang Jadi Pemicu Keretakan

Utang pinjol yang tidak diceritakan pada pasangan sering menjadi bom waktu. Saat penagih menghubungi keluarga atau bahkan menyebarkan data pribadi, konflik langsung memanas.

READ :  Pinjaman Online untuk Modal Usaha, Apakah Menguntungkan?

Dampak pada hubungan keluarga:

  • Hilangnya rasa percaya antara pasangan.

  • Pertengkaran soal pengelolaan keuangan.

  • Tekanan psikologis pada anak yang melihat orang tua bertengkar atau murung.

Contoh kasus:
Di Surabaya, seorang suami marah besar ketika tahu istrinya meminjam di 10 aplikasi pinjol untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Pertengkaran berujung pisah rumah sementara.


4. Mengapa Pinjol Bisa Begitu Menghancurkan Mental dan Hubungan?

  • Bunga dan denda tinggi: membuat pinjaman sulit dilunasi.

  • Tekanan penagihan: bahkan menghubungi keluarga, teman, atau rekan kerja.

  • Rasa malu sosial: takut diketahui orang sekitar.

  • Kurangnya literasi keuangan: tidak menghitung kemampuan bayar sebelum meminjam.


5. Cara Menghadapi dan Mencegah Dampak Buruk Pinjol

Jika sudah terjerat:

  1. Identifikasi utang legal dan ilegal – lunasi yang legal dulu, laporkan yang ilegal ke OJK (157) atau AFPI.

  2. Bicarakan dengan keluarga – jujur soal kondisi agar bisa mencari solusi bersama.

  3. Negosiasi restrukturisasi – beberapa pinjol legal menyediakan opsi perpanjangan tenor atau cicilan.

  4. Cari bantuan profesional – konseling keuangan atau psikolog untuk mengurangi beban mental.

READ :  Checklist Persiapan Keuangan Menyambut Tahun Ajaran Baru

Untuk pencegahan:

  • Jangan ambil pinjaman untuk kebutuhan konsumtif.

  • Cek legalitas aplikasi di daftar resmi OJK.

  • Gunakan dana darurat atau alternatif seperti koperasi resmi, fintech syariah, atau program bantuan pemerintah.


Penutup

Utang pinjol bukan sekadar masalah finansial—ia bisa merusak mental, hubungan, dan masa depan. Stres, depresi, dan konflik rumah tangga adalah tiga dampak nyata yang dialami banyak korban di Indonesia.

Sebelum meminjam, pastikan sudah menghitung kemampuan bayar dan mempertimbangkan risiko psikologis yang mungkin terjadi. Karena pada akhirnya, beban mental sering kali lebih berat daripada beban bunga.