Dalam psikologi keuangan, Loss Aversion adalah bias kognitif di mana rasa sakit akibat kehilangan uang terasa dua kali lebih kuat dibandingkan rasa senang saat mendapatkan uang dengan jumlah yang sama.
Misalnya:
-
Hilang Rp500 ribu membuat kita kesal berhari-hari
-
Mendapat Rp500 ribu hanya membuat senang sebentar
Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Daniel Kahneman dan Amos Tversky dalam Prospect Theory. Temuannya: manusia cenderung menghindari risiko kerugian meski peluang keuntungan lebih besar.
Bagaimana Loss Aversion Mempengaruhi Keputusan Finansial?
-
Takut Berinvestasi
Banyak orang tidak mau memulai investasi karena pernah rugi sekali, meskipun potensi jangka panjangnya positif. -
Menahan Aset Rugi Terlalu Lama
Investor sering menunggu saham atau kripto yang harganya turun “balik modal” meski prospeknya sudah buruk. -
Memilih Aman Tapi Kurang Untung
Menyimpan semua uang di tabungan demi menghindari risiko, padahal inflasi menggerogoti nilainya.
Contoh Nyata di Kehidupan Sehari-hari
-
Bisnis UMKM
Pemilik usaha enggan mencoba strategi pemasaran baru karena pernah rugi saat mencoba ide sebelumnya. -
Asuransi
Banyak orang menolak membeli asuransi karena merasa premi “hangus” kalau tidak klaim, padahal perlindungan jauh lebih berharga. -
Investasi Properti
Menunda membeli properti karena takut harga turun, lalu menyesal ketika harga justru naik signifikan.
Sudut Pandang Baru: Loss Aversion dan “Zona Nyaman Finansial”
Takut rugi sering membuat kita terjebak di zona nyaman:
-
Hanya menabung di bank
-
Menghindari bisnis
-
Tidak mau belajar investasi
Masalahnya, zona nyaman ini sering membuat pertumbuhan aset kita lebih lambat dari inflasi.
Cara Mengatasi Loss Aversion
1. Fokus pada Potensi Jangka Panjang
Alihkan perhatian dari kerugian sementara ke hasil akhir. Misalnya, lihat kinerja investasi selama 5–10 tahun, bukan harian.
2. Mulai dengan Risiko Kecil
Jika takut berinvestasi, mulai dari nominal kecil. Contoh: Rp100 ribu per bulan di reksa dana pasar uang.
3. Diversifikasi
Sebar risiko ke berbagai instrumen agar satu kerugian tidak menghancurkan portofolio.
4. Ubah Mindset: Kerugian = Biaya Belajar
Lihat setiap kerugian sebagai bagian dari proses menuju keahlian finansial.
5. Gunakan Aturan “Stop Loss”
Tentukan batas kerugian yang bisa diterima sebelum memulai investasi. Disiplin keluar jika batas itu tercapai.
Pengalaman Pengguna: Dari Takut Investasi Jadi Untung 25%
Rudi, 32 tahun, pernah rugi Rp3 juta saat trading saham. Ia trauma dan tidak mau berinvestasi selama 4 tahun. Setelah mempelajari konsep Loss Aversion, ia mencoba:
-
Mulai investasi dengan nominal kecil di reksa dana
-
Diversifikasi ke emas dan obligasi
-
Menentukan target jangka panjang
Hasilnya, dalam 2 tahun portofolionya naik 25% tanpa stres berlebihan.
FAQ: Loss Aversion
Q1: Apakah Loss Aversion selalu buruk?
Tidak. Loss Aversion berguna untuk menghindari keputusan gegabah, tapi berlebihan bisa membuat kita stagnan.
Q2: Bagaimana cara melatih diri menghadapi kerugian?
Mulailah dengan investasi kecil, lalu naikkan bertahap. Dokumentasikan setiap keputusan untuk belajar.
Q3: Apakah ini sama dengan takut rugi?
Mirip, tapi dalam psikologi keuangan, Loss Aversion diukur secara ilmiah dan terbukti mempengaruhi perilaku ekonomi.
Q4: Apakah investor profesional punya Loss Aversion?
Ya, tapi mereka mengendalikannya dengan strategi dan disiplin.
Kesimpulan
Loss Aversion adalah sifat alami manusia, tapi jika tidak dikendalikan, bisa menghambat pertumbuhan finansial. Dengan memahami dan mengelolanya, kita bisa mengambil keputusan yang lebih rasional dan berani menghadapi risiko yang sehat.
Ingat, kerugian sesaat bukan akhir, tapi bagian dari perjalanan menuju kebebasan finansial.