Di balik helm hitam dan jaket lusuh yang sering wara-wiri di jalanan, ada sosok-sosok yang mungkin dulunya kerja kantoran, supir ojek, bahkan mahasiswa putus kuliah.
Mereka sekarang dikenal sebagai mata elang — para penagih lapangan yang tugasnya melacak motor cicilan bermasalah. Tapi pertanyaannya: kenapa seseorang bisa sampai turun jadi mata elang? Dan, emang sebanding gak risikonya sama cuannya?
Kenapa Orang “Turun” Jadi Mata Elang?
Kita gak bisa pukul rata semua mata elang itu “galak” atau “brengsek”. Banyak dari mereka dulunya kerja kantoran. Ada yang baru kena PHK, ada yang bosen gaji segitu-gitu aja. Ada juga yang memang terjebak ekonomi: nganggur kelamaan, dan butuh duit cepat.
“Kerja jadi mata elang, sehari bisa narik 1-2 motor, dapet fee Rp300.000 – Rp500.000 per unit. Gaji UMR kalah,” kata seorang mantan staf admin leasing yang banting setir ke lapangan.
Jalan pintas ini menggoda. Gak ada ijazah tinggi? Gak masalah. Yang penting berani, hafal jalur, dan punya insting pelacakan.
Gimana Cara Rekrutnya? Gak Lewat HRD Bro
Proses rekrutmennya gak kayak ngelamar kerja biasa. Biasanya lewat jaringan: temen, komunitas otomotif, bahkan grup Facebook.
Lo ikut dulu “nempel” ke mata elang senior, ikut pelacakan, latihan komunikasi di lapangan, baru dikasih kesempatan narik sendiri.
Kadang yang narik bukan dia langsung, tapi ngumpulin informasi aja dulu: motor plat ini parkir di mana, rumahnya yang mana, dan kapan kosong.
Gue pernah denger ada istilah “tim pengintai” dan “tim eksekutor“. Tim pengintai ini yang kerja lebih ringan tapi tetap dapet bagian fee kalau info-nya akurat.
Cuannya Emang Seberapa? Worth It Gak?
Nah, ini bagian yang sering jadi clickbait. Ada yang bilang bisa dapet 10 juta seminggu, tapi faktanya gak semulus itu.
Jumlah Tarikan | Fee per Unit | Potensi Mingguan |
---|---|---|
1 motor / hari | Rp300.000 | ± Rp9.000.000 |
Gagal tarik | Rp0 | Mental drop |
Tapi gini ya, bro, gagal satu aja kadang bikin trauma. Apalagi kalau ketemu pemilik yang beringas, atau warga sekitar yang gak suka gaya mereka.
“Pernah gue disiram air panas waktu narik motor, padahal surat resmi dari leasing ada. Tapi ya… tetap aja dianggap maling.”
— Testimoni anonim, mantan mata elang
Jadi, walaupun secara hitungan kasar bisa “hidup enak”, mental dan fisik harus tahan banting.
Risiko yang Jarang Disorot
-
Dilaporkan ke Polisi
Banyak orang yang gak paham bahwa walaupun legal secara leasing, narik tanpa prosedur (surat resmi, pengawalan kepolisian) itu bisa kena pasal. -
Dilawan Warga
Beberapa kasus berujung penganiayaan karena dianggap preman. Terutama kalau ngelakuin penarikan di permukiman padat tanpa izin RT/RW. -
Jadi Target Balas Dendam
Gak sedikit korban penarikan yang ngintai balik si mata elang dan motor mereka. Serem? Banget.
Mental: Modal Terbesar Jadi Mata Elang
Bukan nyali doang, tapi juga kontrol emosi. Banyak yang mentalnya tumbang, merasa bersalah tiap narik motor ibu-ibu, atau ngeliat anak kecil nangis karena kendaraannya diseret pergi.
Beberapa mantan mata elang cerita, mereka mulai mimpi buruk, cemas tiap malam, bahkan trauma setiap dengar suara motor serupa.
Legalitas yang Abu-Abu
Di Indonesia, pekerjaan mata elang ini sering ‘abu-abu’. Di satu sisi dibutuhkan leasing, di sisi lain banyak melanggar hak konsumen.
Pemerintah pernah beberapa kali memperingatkan: penarikan kendaraan hanya boleh dilakukan dengan surat resmi dan dikawal aparat. Tapi kenyataannya, praktek lapangan sering di luar kendali.
Jalan Pintas atau Jalan Berbahaya?
Buat yang butuh uang cepat dan gak punya pilihan, jadi mata elang memang bisa jadi “solusi”. Tapi gak bisa selamanya lo hidup di situ. Gak ada jaminan kesehatan, gak ada asuransi, dan umur kerja pendek — karena stamina dan risiko makin besar.
Dan satu lagi: cap sosialnya berat. Lo bisa dapet duit banyak, tapi teman, tetangga, bahkan keluarga bisa menjauh kalau tahu lo kerja “narik motor orang.”
Kesimpulan: Pilih Cuan atau Ketentraman?
Akhirnya, pilihan kembali ke pribadi masing-masing. Kalau lo tanya gue — lebih baik cari kerja yang bisa dinikmati, walaupun hasilnya gak langsung gede. Apalagi sekarang banyak opsi freelance, kerja remote, jual skill digital, dan lain-lain.
Tapi kalau lo udah nyemplung di dunia mata elang, penting juga untuk tetap punya exit plan. Jangan sampai lo cuma jadi alat, tanpa masa depan yang jelas.