SEOsatu – Waktu itu, hidupku serasa udah lengkap.
Aku udah kerja, punya pasangan yang klik, dan udah tunangan.
Tinggal selangkah lagi masuk babak baru: menikah.
Tapi hidup ternyata suka bercanda.
Tepat dua bulan sebelum akad, semua bubar jalan.
Bukan cuma cincin yang dilepas, tapi juga mimpi yang runtuh.
Dan dari reruntuhan itu… aku justru nemu sesuatu yang lebih penting: diriku sendiri.
Table of Contents
Semua Terlihat Ideal… di Luar
Waktu kami memutuskan tunangan, semua orang senang.
Keluargaku dan keluarganya cocok. Kami udah pacaran 3 tahun.
Nggak pernah ada ribut besar, dan semua orang bilang kami “pasangan yang dewasa”.
Aku percaya itu juga. Bahkan terlalu percaya.
Kami udah DP gedung, fitting baju, bahkan pre-wedding.
Tiap malam aku bayangin hidup setelah nikah:
Punya rumah kecil, sarapan bareng, kerja bareng bangun masa depan.
Tapi ternyata, hidup bukan sinetron.
Retak yang Selama Ini Nggak Kulihat
Makin deket ke hari H, justru makin sering konflik kecil muncul:
-
Soal siapa yang ikut tinggal di mana
-
Soal pengelolaan keuangan
-
Soal ekspektasi dari keluarganya terhadapku
-
Soal aku yang dinilai terlalu fokus kerja, dan dia yang merasa “sendirian”
Awalnya kupikir itu wajar. Namanya juga mau nikah.
Tapi lama-lama makin kerasa: kita ternyata nggak benar-benar saling ngerti, kita cuma saling cocok di permukaan.
Titik klimaksnya datang waktu dia bilang:
“Aku takut nikah tapi malah kehilangan diriku sendiri.”
Aku diam. Karena aku juga ngerasain hal yang sama, cuma nggak pernah berani ngomong.
Keputusan Terberat: Batal Nikah
Malam itu kami ngobrol panjang. Bukan ribut, tapi jujur-jujuran.
Dan pagi harinya… kami putuskan untuk batal nikah.
Tunangan dibatalkan. Semua persiapan di-refund semampunya.
Rasanya?
Kosong.
Kayak nonton film panjang, dan ending-nya dipotong pas klimaks.
Keluarga kaget. Teman-teman pada nanya. Ada yang simpati, ada yang nyinyir.
Ada yang bilang, “Sayang banget udah sejauh itu.”
Ada juga yang bilang, “Pasti ada orang ketiga ya?”
Tapi mereka nggak tahu…
kadang perpisahan itu bukan karena pengkhianatan,
tapi karena dua orang sadar: mereka nggak sejalan untuk masa depan.
Kesepian yang Menghancurkan… dan Menyembuhkan
Hari-hari setelah itu berat banget.
Tiap buka galeri HP, muncul foto berdua.
Tiap scroll IG, muncul undangan nikah orang lain.
Tiap malam, cuma bisa nangis diam-diam sambil nanya ke diri sendiri,
“Salahku di mana sih?”
Tapi justru dari kesendirian itu, aku mulai ketemu ruang.
Ruang buat denger isi hatiku sendiri.
Aku mulai sadar:
Selama ini aku terlalu sibuk jadi versi ideal yang dia (dan keluarganya) mau.
Aku lupa jadi diri sendiri.
Aku baru sadar ternyata aku suka nulis, suka jalan sendiri, suka ketenangan.
Suka jadi pribadi yang nggak harus selalu produktif 24/7.
Suka bangun mimpi dengan cara yang pelan, bukan buru-buru.
Aku belajar maafin diriku.
Bahwa gagal menikah bukan berarti gagal hidup.
Insight dari Luka yang Nggak Kelihatan
Gagal nikah bukan aib, bro.
Justru kadang itu anugerah tersembunyi.
Karena pernikahan itu seumur hidup (idealnya). Lebih baik batal sekarang, daripada nyesal setelah ijab kabul.
Dari pengalaman itu, aku belajar:
-
Cinta aja nggak cukup buat menikah.
Harus ada komunikasi, visi jangka panjang, dan kompromi sehat.
Jangan cuma nikah karena udah lama pacaran. -
Jangan abaikan red flags.
Tanda-tanda kecil itu penting. Beda visi kecil bisa jadi jurang besar nanti. -
Gagal tunangan bukan kegagalan pribadi.
Kadang justru itu bentuk keberanian untuk jujur ke diri sendiri. -
Jangan hidup untuk membuktikan ke orang lain.
Jangan nikah cuma karena “teman-teman udah pada nikah”. Hidupmu bukan kompetisi. -
Waktu sendiri adalah waktu terbaik mengenal siapa dirimu sebenarnya.
Dari situ kamu bisa bangun hidup dengan fondasi yang lebih kuat.
Penutup: Nggak Jadi Nikah, Tapi Justru Jadi Lebih Utuh
Sekarang, aku nggak bilang hidupku sempurna.
Tapi aku tahu aku lebih kenal diriku.
Dan itu jauh lebih penting daripada sekadar status “menikah”.
Kalau kamu lagi di posisi serupa—bimbang, ragu, atau bahkan baru aja batal nikah—aku cuma mau bilang:
It’s okay.
Kadang kehilangan pasangan justru jadi awal dari menemukan jati diri.
Karena jujur aja, aku lebih takut kehilangan diriku sendiri…
daripada kehilangan seseorang yang bahkan belum tentu siap berjalan bareng sampai akhir.
Kalau kamu suka artikel seperti ini, bro, bisa aku buatin lanjutan:
“Apa yang Harus Dilakukan Setelah Gagal Nikah”
atau
“Kenapa Banyak Orang Terpaksa Menikah Demi Menang dari Waktu”